Pulau Bali tersohor akan keelokan alam dan budayanya hingga mancanegara. Satu bagian kecil Pulau Bali yang kami datangi kali ini adalah Padang Bai. Terletak di sisi timur Pulau Bali, Padang Bai menjadi kota pelabuhan yang terkenal pula akan wisatanya. Tim beranggotakan 6 orang akan mendokumentasikan dan menjelajahi lima titik penyelaman di Padang. Berangkat dari Yogyakarta dengan mobil pribadi menjadi pilihan kami. Pilihan lain yang bisa dipertimbangkan adalah dengan pesawat, kereta, atau bahkan dengan bus yang tentunya disesuaikan dengan budget agar tidak memaksa. Perjalanan dari Yogyakarta hingga Pelabuhan Ketapang Banyuwangi kami tempuh dalam waktu sekitar 15 jam karena singgah di Pasuruan, normalnya sekitar 12 jam. Kapal penyebrangan jenis ferry dengan rute Ketapang-Gilimanuk dan sebaliknya tersedia dengan fasilitas yang telah diperbaiki. Armada cukup banyak tersedia saat itu dan cuaca sedang bersahabat sehingga tidak ada halangan dalam penyeberangan kami.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam dengan kapal ferry, sampailah kami di Pelabuhan Gilimanuk. Pemeriksaan identitas pun dilalui sebelum perjalanan dilanjutkan. Perjalanan menuju Padang Bai perlu dilalui dengan beberapa kali berpindah kendaraan alias “ngeteng”. Kendaraan pertama yang kami gunakan adalah angkot merah untuk menuju ke Pemuteran dengan biaya sekitar 30 ribu rupiah per orang. Perjalanan dilanjutkan menuju Seririt dengan angkot merah, biayanya 20 ribu rupiah per orang. Singgah sejenak untuk makan di Seririt, perjalanan dilanjutkan dengan bus selama 4 jam hingga sampailah kami di Terminal Denpasar. Biaya per orangnya adalah 50 ribu rupiah. Kemudian dari Denpasar menuju Padang Bai ditempuh selama 1,5 jam dengan menyewa mobil dengan harga 500ribu rupiah sekali jalan. Perjalanan di Bali dengan kendaraan umum cukup sulit dicari dengan harga yang mudah sekali berubah. Hal ini diakui sendiri oleh sopir angkot merah yang kami tumpangi. “Kendaraan umum sekarang makin jarang dan mahal. Soalnya orang Bali dan wisatawan lebih memilih mobil pribadi”, ujarnya sembari mengendalikan angkot dengan lincah.
Sesampainya di Padang Bai, kami menuju salah satu penginapan yang kami anggap sesuai dengan budget kami dengan fasilitas yang lumayan baik. Namun sesampainya disana kamar sudah penuh dipesan hingga 2 hari ke depan. Kemudian kami mencari penginapan dengan mobil dan meminta tolong pada masyarakat sekitar untuk dicarikan tempat menginap yang cukup dengan budget kami. Setelah mencari dan menunggu sekitar 1,5 jam akhirnya kami mendapat tempat untuk beristirahat satu malam di Penginapan Tri Putra dengan biaya 250ribu per kamar meski hanya semalam karna kamar lagi-lagi sudah dipesan. Malam itu kami habiskan dengan berdiskusi mengenai rencana penyelaman di esok hari, serta rencana mencari penginapan lainnya. Tak lupa kami mencari tempat makan yang menjual makanan halal di dekat penginapan untuk mengisi perut yang nyaris melilit. Kemudian kami segera beristirahat.
Keesokan harinya, Bli Suwena dan Bli sebagai divemaster kami sudah menjemput sejak pagi untuk menuju ke lokasi kapal. Perjalanan menuju lokasi kapal seharusnya tidak lama, namun karena kondisi jalan yang sempit dan macet membuat lalu lintas menjadi padat dan tidak lancer. Hal ini diperparah dengan kendaraan yang parkir sembarangan dan pejalan kaki yang dengan bebas berlalu lalang. Faktanya, Padang Bai lebih dikenal sebagai pelabuhan oleh turis bahkan masyarakat Bali dari wilayah lain. Mungkin itu salah satu alasan wisata pantai dan laut di Padang Bai jarang menjadi destinasi utama, melainkan hanya sebagai tempat singgah sementara. Hal ini membuat tim kami semakin penasaran dengan pesona laut Padang Bai dan ingin segera menjelajahinya.
Tabung-tabung selam dan kapal sudah siap di pantai. Kami bergegas membawa alat-alat menaiki kapal dan cuaca cerah pagi itu mengiringi kami menuju spot penyelaman pertama. Setelah hampir 20 menit perjalanan dari pantai sampailah kami di spot pertama yakni Bias Tugel. Bias berarti pasir dan tugel berarti patah karena adanya karang yang memisahkan pantai White Sandy dapat ditempuh dalam waktu lima menit. Dengan slope yang landai dan gelombang arus yang tidak kencang, spot ini sangat cocok untuk penyelam bersertifikat pemula. Hal berbeda kami rasakan di Bias Tugel karena kami mengalami thermocline dari suhu air yang semula 25 derajat celcius berubah drastis menjadi 19 derajat celcius. Pengalaman menyelam yang menarik bagi kami.
Berlanjut menuju arah timur laut, terdapat spot penyelaman yang kedua yakni Tanjung Jepun. Diberi nama demikian karena terdapat pohon Jepun (Kamboja) dan Pura Jepun. Spot Tanjung Jepun ini sangat ramai dikunjungi wisatawan karena gelombang lebih tenang dan mudah dijangkau. Hal menarik dari spot kedua ini adalah terdapat mini shipwreck yang telah menjadi hunian ikan-ikan karang di kedalaman sekitar 12 meter. Di spot ini kami juga banyak menemui penyelam-penyelam dari tim lain. Tengah asyik menikmati indahnya dominasi soft coral dan banyaknya ikan karang dengan visibility yang cukup baik, dua divemaster kami memberi sinyal untuk bergeser dan mendekat ke arah mereka. Rupanya spot tersebut juga terdapat wahana kapal selam untuk wisata yang hendak lewat di depan kami. Sedikit lambaian kami berikan pada wisatawan yang ada di kapal selam. Karena dekat dengan banyak aktivitas nelayan hingga kapal-kapal kecil, kami sering mendengar suara mesin kapal saat sedang touring di spot Tanjung Jepun ini.
Tanjung Jepun sudah kami jelajahi, namun rasa penasaran kami akan keindahan Padang Bai masih belum cukup. Tak jauh dari Tanjung Jepun, terdapat spot penyelaman ketiga kami yang lokasinya berada pada lengkungan pulau dan di dekat laguna. Karena alasan itu lah spot ini diberi nama Turtleneck-blue lagoon. Berbeda dengan dua penyelaman sebelumnya, spot kalo ini memiliki slope yang terjal hingga membentuk wall. Gelombang permukaan tidak terlalu besar, tetapi arus cukup mampu membawa kami menjelajahi wall seperti saat drift dive. Kami menemukan gurita bersembunyi dan sempat memotret moray eel, tentunya ikan-ikan karang yang menambah keindahan warna laut saat itu.
Tiga titik penyelaman telah kami selesaikan pada hari kedua di Padang Bai. Bercengkerama, berbagi pengalaman, dan berbagi pemikiran setelah melakukan penyelaman hari itu merupakan saat-saat yang menyenangkan. Sembari mengisi perut, tawa dan cerita menjadi pengisi yang tak pernah terlewatkan. Mulai malam ini, kami menginap di Dharma Homestay yang telah dibooking jauh hari. Setelah membersihkan diri dan merapikan alat, kami pun beristirahat.
Hari kedua penyelaman dimulai dengan bangun sedikit terlambat. Cuaca pagi itu cukup cerah di pantai. Lokasi dua titik penyelaman hari ini terletak lebih jauh dari lokasi kemarin namun kabarnya lebih menarik dan patut dikunjungi. Dua titik penyelaman ini berdekatan yakni Gili Mimpang dan Tepekong. “Kemarin ada yang ketemu mola-mola dan beberapa hiu di spot ini†ujar salah satu divemaster kami, Bli Suwena. Semangat kami pun makin membara mendengarnya, tak sabar untuk nyelem walaupun gelombang saat itu lumayan tinggi.
Titik penyelaman keempat kami adalah Gili Mimpang. Slope di spot ini tidak curam, namun arus cukup mampu membawa kami bergerak tanpa perlu mengayuhkan fins. Karang enscrusting dan banyak sponge kami jumpai disini. Di spot ini kami bertemu dengan dua hiu white tip berukuran sedang saat di tengah penyelaman dan hiu itu sedang bersembunyi di balik karang. Pengalaman yang menegangkan sekaligus menyenangkan dapat bertemu hiu untuk pertama kali
Gelombang semakin terasa tinggi siang itu menyambut penyelaman terakhir kami di Tepekong. Tepekong tidak jauh dari Gili Mimpang hanya berjarak 10 menit berputar dengan kapal. Hal seru di spot ini adalah ketika kami diajak oleh para divemaster memasuki goa dengan pintu masuk yang pas dengan ukuran tubuh kami dan cukup curam. Sensasi yang luar biasa menarik dan lagi-lagi pengalaman pertama bagi kami! Dari ujung goa, kami dibawa arus menuju tempat yang lebih landau. Namun siapa sangka, karang dan ikan di spot ini cukup ramai dengan karang table yang luas dan soft coral ukuran besar. Schooling ikan sweetlips, kerumunan damsel, dan kamuflase stonefish bergiliran kami temui di spot ini. Karang dan ikan di spot ini paling terjaga menurut kami.
Kelima titik telah kami selami, artinya kami harus kembali ke Jogja. Perjalanan pulang menjadi penuh cerita dan pengalaman yang terasa menarik diceritakan pada kawan-kawan. Secangkir kopi Blue Tamblingan dan kesejukan udara Munduk pertanda akhir perjalanan kami di kloter ekspedisi Nusantara Bawah Air ini. Syukur kami diberi kesempatan melihat keindahan ciptaan Tuhan tanpa harus merusak dan mengganggunya. Rasa bangga dan bahagia menyelimuti seluruh perjalanan kami.
0 Comments