Semangat kolaborasi antar mahasiswa pecinta laut kembali membuahkan catatan penting dalamagenda pelestarian lingkungan bahari. Ekspedisi Dwipantara VII — kerja sama antara Unit Selam Universitas Gadjah Mada (UGM) dan UKSA-387 Universitas Diponegoro (UNDIP) — berlangsung dari 28 April hingga 4 Mei 2025 di wilayah Gili dan Noko, Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Ekspedisi ini menyatukan riset ekosistem laut, kegiatan konservasi, serta penggalian persoalan sosial-lingkungan khususnya soal pengelolaan sampah di Pulau Gili.
Perjalanan dimulai pada 28 April 2025. Tim dari Yogyakarta (UGM) dan Semarang (UNDIP) berangkat terpisah lalu bertemu malam harinya di Pelabuhan Paciran. Setelah menyebrangi laut menuju Bawean dan menyelesaikan perizinan, tim langsung melanjutkan ke Pulau Gili-Noko untuk bertemu kepala dusun serta melakukan persiapan penyelaman.
Tanggal 30 April dan 1 Mei menjadi momen penting dalam pendataan bawah laut. Tim dibagi ke dalam tiga kelompok untuk memetakan kondisi terumbu karang dan menghitung populasi ikan menggunakan dua metode: Underwater Photo Transect (UPT) dan Underwater Visual Census (UVC). Empat titik di sekeliling Pulau Gili — utara, selatan, timur, dan barat — menjadi lokasi penyelaman, masing-masing di dua kedalaman: lima dan sepuluh meter. Dari pendataan ini, ditemukan total 760 ikan dengan spesies dominan seperti Pomacentrus, Abudefduf, dan Chromis.
Kegiatan berlanjut pada 2 Mei dengan aksi nyata konservasi berupa transplantasi terumbu karang. Bibit karang diambil dari barat daya Pulau Noko dengan teknik Corals of Opportunity dan ditanam menggunakan metode spider web di antara Pulau Gili dan Noko. Sebanyak 12 unit spider web ditanam, memuat total 151 fragmen karang. Yang menggembirakan, proses pemantauan selanjutnya akan dilanjutkan oleh Hijau Daun, komunitas konservasi lokal Bawean. Kolaborasi ini menunjukkan pentingnya pelibatan warga dalam menjaga laut secara berkelanjutan.
Tak hanya fokus di dalam laut, ekspedisi ini juga menyelami sisi sosial masyarakat Pulau Gili. Wawancara yang dilakukan mengungkap dua sumber utama permasalahan sampah: kiriman dari luar pulau seperti Bawean dan Kalimantan, serta sampah domestik yang belum tertangani karena ketiadaan TPA akibat keterbatasan lahan. Solusi sementara seperti pembakaran dan penguburan dianggap belum efektif, sementara program mahasiswa KKN yang menyediakan tempat sampah dinilai belum menyentuh akar persoalan.
Menanggapi kondisi tersebut, tim ekspedisi merancang seminar hasil kegiatan sebagai bentuk advokasi kepada pemerintah daerah. Harapannya, hasil temuan dan suara masyarakat bisa menjadi dasar dalam merumuskan solusi jangka panjang. Seperti yang disampaikan oleh Bazgheir Syams, Ketua Delegasi dari Unit Selam UGM, “Kolaborasi ini bukan sekadar kegiatan menyelam, tapi tentang menyatukan tekad antar komunitas demi menghadapi masalah nyata di lapangan.”
Ekspedisi Dwipantara VII tak hanya menjadi ajang pembelajaran, tapi juga pengingat pentingnya menumbuhkan nilai konservasi sejak dini. Selain membawa dampak nyata di perairan Gili-Noko, kegiatan ini diharapkan menjadi titik tolak munculnya inisiatif serupa di masa depan. Tim ekspedisi pun mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk turut serta menjaga kekayaan lingkungan Nusantara— karena laut dan daratan bukan sekadar peninggalan, melainkan juga warisan masa depan.
0 Comments