Hari pertama,
16 Februari 2020
Pagi ini terasa berbeda, rasa senang tak terhingga tersembunyi di balik wajah kantukku, yang datar, dan kayaknya minta ditonjok aja. Seneng banget bisa berangkat ke Tulamben hari itu. Setelah berbulan-bulan dalam rangkaian pendidikan dan latihan , akhirnya bakal sertifikasi juga. Aku berangkat berdua dengan Dinda dari kontrakan ke Gelanggang, dengan koper mungil yang kuseret, dan tak lupa “Randi”, panggilanku pada ransel Dinda, yang digendong empunya. Setibanya di Gelanggang, beberapa teman kami sudah menunggu, tapi tetap saja ada yang telat. Akri yang berlarian menyeret koper berukuran sedang dari jalan depan BNI, Alvin yang juga berlarian menenteng tas, lalu Ibra, dan tentu saja Wisnu yang memang pelanggan setia keterlambatan. Selain mereka, aku nggak ingat siapa lagi yang telat. Seperti pemberangkatan pada umumnya, kami briefing, lalu loading barang ke bis, upacara pelepasan, rangkaian sambutan, dan dilanjutkan dengan foto bersama. Kami membutuhkan waktu hampir 24 jam untuk sampai di Pulau Dewata, termasuk menyebrangi Selat Bali dengan menaiki kapal feri, makan siang, dan makan malam selama perjalanan. Sepanjang perjalanan, aku dan sebagian besar orang di dalam bus, tidur, tidur, dan tidur. Anehnya, kami sedikit terjaga hanya setelah makan.
Aku berkata demikian karena sepanjang perjalanan, aku tertidur pulas meskipun pegal, jadi yang ku tahu semua orang terlelap dalam mimpi sepertiku.
Hari kedua,
17 Februari 2020.
Sekitar pukul 6 pagi esok harinya, akhirnya kami sampai di Bali, tepatnya di Puri Madha Dive Resort, tempat kami menginap yang berdekatan dengan lokasi scuba diving. Lokasinya sangat dekat dengan tempat kapal karam di perairan Tulamben, yang merupakan salah satu dive site andalan Pulau Dewata. Halaman belakangnya langsung menghadap laut.
Pagi itu, dengan keadaan mengantuk dan malas – malasan, tapi cukup bertenaga, kami mengeluarkan semua barang dari bis, sebelum membawa barang milik pribadi ke kamar yang telah disediakan. Jalanan jauh, menurun, dan menghilangkan rasa kantuk kami. Sudah tidak ada waktu berleha – leha pagi itu, kami langsung sarapan, jogging, stretching, persiapan, dan dilanjutkan dengan fins swimming bersama untuk menyambut pagi itu. Usai fins swimming dan berkenalan dengan laut, kegiatan selanjutnya adalah sesi scuba diving secara bergantian hingga sore hari.
Pantai di Tulamben tertutupi oleh batuan vulkanik dari Gunung Agung. Tidak ada hamparan pasir sama sekali di pantainya. Saat kita berada di pantai, jika menghadap ke barat daya, kita akan menemukan Gunung Agung yang menjulang, jika menghadap ke timur laut, kita akan melihat hamparan laut luas. Jika cuaca cerah, akan tampak Pulau Lombok di sebelah timur.
Saat fins swimming, kami dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil berisikan 6 orang diklat 30, 2-3 senior diver, satu sweeper, dan satu instruktur. Pertama kali berenang di laut dengan instruktur, seperti mengejar mimpi. Susah sekali dan butuh usaha yang besar, apa lagi mata perih akibat terkena air laut. Kalau kita nggak bisa ngejar, ya ketinggalan, kehilangan arah. Walaupun kita harus mengejar instruktur, kita nggak diperbolehkan untuk tidak mempedulikan buddy kita. Sudah ditanamkan sejak dalam kandungan, hehe enggak juga deng, pokoknya udah dari lama lah, sejak awal, bahwa antar buddy harus saling menjaga agar tidak hilang dan kalau terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, jadi nggak susah sendirian.
Setelah fins swimming, kami melanjutkan sesi dengan scuba diving, yang dibarengi latihan di bawah air, seperti touring tanpa masker dan latihan penunjang lainnya. Aku kebagian kloter kedua. Sembari menunggu kloter satu selesai scuba diving, aku dan beberapa teman di pinggir laut, melamun. Namun, hal yang tak disangka terjadi. Belum ada 20 menit, kelompok 2 kloter pertama sudah naik ke permukaan, dan tertatih – tatih menuju daratan. Ternyata, mereka tidak bisa turun. Cuaca yang berangin di darat, ternyata membuat arus di laut juga besar. jika mereka memaksakan turun, dikhawatirkan akan terpisah dari rombongan. Saat mereka naik, ada satu penyusup, yakni Mas Izil yang terpisah dari rombongannya. Mas Izil tidak bisa turun, dan tentu saja kehilangan buddy.
Sekitar 30 menit berselang, kelompok pertama akhirnya naik juga. Kelompok ini membawa cerita untuk kami. Kali pertama melakukan scuba diving di laut, mereka menyesal karena pengorbanan waktu dan tenaga untuk berlatih dalam beberapa bulan terakhir dirasa belum cukup untuk dapat melakukan penyelaman. Mereka tidak bisa melawan arus dan harus berpegangan pada tali yang kebetulan ada di bawah air. Saat mereka mengayuh, mereka tidak dapat berpindah tempat. Tetapi bila diam, mereka akan terbawa mundur. Jadi, bisa disimpulkan mereka tidak bisa maju sama sekali. Pun, tidak ada satupun pemandangan bawah air yang dapat mereka nikmati. Nol sama sekali, dan sepertinya agak traumatic.
Tiba saatnya giliran kelompokku untuk scuba diving dan mempraktikkan beberapa skill yang telah kami latih selama ini. Tidak seperti kelompok pertama, aku sangat menikmati berada di dalam laut. Terdapat banyak biota laut yang bisa kulihat. Saat touring, kami melihat kapal karam USAT Liberty, milik Amerika yang karam akibat letusan Gunung Agung pada 1963. Sebelumnya, kapal ini sudah dikosongkan karena rusak akibat torpedo Jepang di tahun 1942. Kami diarahkan melewati tiang kapal yang ambruk oleh instruktur. Saat melewatinya, perasaanku sungguh harap-harap cemas. Berharap bisa melewatinya dengan gaya yang indah, dan cemas kalau mengenai susunan karang yang menempel di kapal.
Hari ketiga,
18 Februari 2020
Penyelaman kedua di hari kedua, terasa sangat mengasyikkan. Perasaanku sudah mulai terbiasa berada di bawah laut, meskipun masih cemas karena takut mengenai karang. Hari ini, aku lebih bisa menikmati pemandangan bawah laut. Aku lebih bisa memperhatikan berbagai jenis ikan dan karang yang kutemui. Hal yang sama juga kurasakan pada penyelaman ketiga dihari yang sama. Yang membedakan hari itu dengan hari-hari sebelumnya adalah kami diminta untuk menyusun panitia dan mengkoordinasikan kegiatan fun dive dikeesokan hari. Para senior memberikan kami kesempatan untuk berdiskusi sendiri. Kami berkumpul malam itu bersama–sama untuk memutuskan langkah apa yang akan kami ambil untuk menghadapi hari esok. Waktu sudah menunjukkan dini hari saat kami pergi tidur, khawatir apakah dapat bangun tepat waktu.
Hari keempat,
19 Februari 2020
Ketua pelaksana hari itu adalah Alvin, didukung teman-teman lain. Untungnya, kami bisa bangun tepat waktu dan menyelesaikan stretching dan jogging lebih cepat, pun tepat. Selesai jogging, kami diarahkan Mas Syarlee menuju arah pantai. Saat itu, ntah pukul 5 atau 6 pagi, masih gelap. Singkat cerita, ternyata kami dilantik saat itu juga. Tak terasa langit sudah cerah ketika rangkaian acara selesai, dilanjutkan dengan sarapan bersama dan kegiatan fun dive yang kami rancang semalaman, dengan hati senang, riang gembira.
Kami selesai fun dive sekitar tengah hari, dan langsung bersiap untuk pulang. Kami baru meninggalkan Puri Madha sekitar pukul 2 siang. Siang itu hujan, tetapi bus terparkir jauh dari penginapan. Hal ini membuat kami harus mengantri menaiki mobil pick up untuk menuju bus sehingga tidak terlalu basah. Perjalanan pulang hampir sama dengan perjalanan berangkat, namun dengan durasi yang lebih cepat. Menurutku, hal ini dikarena perjalanan malam hari yang kami tempuh.
Hari terakhir,
20 Februari 2020
Kami sampai di Jogja sekitar pukul 5 pagi, disambut oleh gerimis manis khas kota pelajar. Menghela nafas sebentar, kami lanjut unloading barang, sarapan, dan dilanjutkan dengan cuci alat skala besar. Kami tiba lebih cepat dari perkiraan awal. Menurut rundown, kami diestimasi tiba di Jogja pukul 3 sore. Namun tak masalah, kami punya waktu lebih banyak untuk istirahat. Senang sekali, memiliki banyak waktu untuk tidur.
“You can remember your first dive experience.
Memorize the moment with your buddies is another story”
Penulis : Aprilia Anggy Sabrita
Editor : Shafira Apriliani
0 Comments