Yogyakarta — Setelah Lembongan dan Menjangan, Padang Bai menjadi destinasi selanjutnya perjalanan menyelami tiga puluh titik di Pulau Bali dalam rangka memperingati tiga dekade Unit Selam UGM. Tim yang beranggotakan enam mahasiswa melakukan dan mendokumentasikan penyelaman di lima titik penyelaman serta kultur masyarakat di Padang Bai dari 13 – 15 Agustus 2017.
Kota Pelabuhan dan wisatanya
Padang Bai terletak di Kabupaten Karangasem, sisi timur Pulau Bali yang berbatasan dengan Selat Lombok dan Pulau Lombok. Padang Bai dulunya bernama desa Padang kemudian pada masa kolonial diberi nama Padang Baai oleh Belanda, Baai dalam bahasa Belanda berarti Teluk karena letaknya yang berada di teluk dan memiliki perairan yang dangkal dan tenang.
Padang Bai memiliki pelabuhan yang menjadi jalur pelayaran kapal feri menuju Pulau Lombok, Nusa Lembongan, kepulauan Gili dan pulau lainnya di Nusa Tenggara Barat. Pada bulan Juli-Agustus menjadi high season di pelabuhan Padang Bai mengantar maupun mendaratkan turis mancanegara menghabiskan summer holiday di Bali atau Lombok. Seperti pada kedatangan kami, pelabuhan nampak hilir mudik mengangkut puluhan hingga ratusan orang menyebrang setiap hari.
Lima titik penyelaman
Selain ramai wisatawan yang menyebrang, banyak juga wisatawan yang memilih berwisata di Padang Bai. Padang Bai memiliki pesona pantai pasir putih dan spot yang indah untuk diselami. Untuk itu Padang Bai dipilih menjadi tujuan ekspedisi untuk melihat bagaimana perkembangan wisata selam bersanding selaras dengan falsafah hidup masyarakat Bali dan ramainya pelabuhan.
Lima titik penyelaman dipilih di Padang Bai dan dilaksanakan dalam dua hari. Pada penyelaman hari pertama tim melakukan tiga penyelaman di Bias Tugel, Tanjung Jepun dan Turtle Neck, kesemua titik dijangkau dengan menggunakan kapal. Bias Tugel dari kata Bias yaitu pantai dan Tugel yaitu patah, berarti pantai yang patah karena adanya karang yang memisahkan pantai White Sandy dapat ditempuh dalam waktu lima menit. Sedangkan Tanjung Jepun dinamai demikian karena terdapat pohon Jepun (Kamboja) dan Pura Jepun serta Turtle Neck karena terdapat daratan yang berbentuk seperti leher penyu.
Kesemua titik terdapat arus sehingga penyelaman dilakukan dengan mengikuti arus, hal yang berbeda dirasakan di Bias Tugel karena tim mengalami thermocline dari suhu air yang semula 25 derajat celcius berubah drastis menjadi 19 derajat celcius. Banyak biota dapat ditemukan dari ikan grouper, butterfly, moray eel, sweetlips dan yang menjadi primadonanya adalah black tip shark yang sempat kami temui di Gili Mimpang.
Menurut Dive Master kami, Bli Suwena, di penyelaman di Padang Bai memang terkenal dengan spot goa bawah air dan keberadaan hiu dalam goa tersebut. Tak ayal, dari tahun ke tahun jumlah wisatawan selam di Padang Bai semakin meningkat dan dapat dilihat pula dari sarana dan prasarana serta dive operator yang semakin menjamur di desa ini.
Semakin semaraknya fasilitas dan wisatawan selam di Padang Bai tidak memadamkan kultur asli dari masyarakat disana. Masih kami temui beberapa perempuan paruh baya yang masih membuat banten atau sajen untuk upacara orang Bali. Serta pura- pura yang masih aktif diadakan upacara adat dan keagamaan, adapula sanggar tari Bali yang masih mengajar tari di sekitar desa Padang Bai. Namun, yang tersingkirkan dari perkembangan ini justru nelayan padang Bai. Kini mereka beralih dari yang semula nelayan ikan menjadi nelayan tabung yang mengantarkan tamu selam dan tabung- tabung.
Hiruk pikuk pelabuhan terus memutarkan roda ekonomi dan kehidupan masyarakat di Padang Bai. Kami yang sempat menyelam disana tidak hanya merasakan indahnya bawah laut Padang Bai tetapi juga sendi- sendi kehidupan dan kebudayaan masyarakat Bali di Padang Bai.
Oleh :
Tim Ekspedisi Padang Bai
0 Comments