Alunan lagu dangdut hits pilihan supir menemani perjalanan kami, sebenarnya lebih terdengar seperti orang berdehem dari kursi belakang karena subwofer tidak berfungsi , tapi tetap saja mengiringi bincang, tawa, lamunan, hingga lelap diantara kami. Udara di dalam bus terasa dingin, tapi tubuh masih bisa menolerir hingga hari berganti. Sepintas teringat Situbondo dimana saya pertama kali mendaki, seminggu di Gunung Argopuro bertahan dalam kebersamaan.
Angka 16° yang ditampilkan remote AC tidak cukup membuat sejuk kami berlima yang tidur dalam satu kamar, diatas tikar yang dibentangkan hingga dibawah kolong tempat tidur, menutupi kaki hingga pinggang kami bertiga yang ingin tidur di lantai. Kulihat Kristian yang mulai berkeringat.
Sudah pukul 4 pagi, kami harus bangun dan memulai pemanasan, mencoba melawan rasa kantuk yang masih menggoda untuk kembali merebah, memuaskan diri kembali dalam nyenyak. Baju renang yang sebelumnya digunakan belum juga kering dan masih berbau air laut namun tetap kami kenakan. Kami menempatkan diri di kanan dermaga Pantai Pasir Putih, melawan hembusan angin pantai yang terasa dingin di kulit. Gerakan peregangan mulai kami lakukan sembari saling berganti menghitung. Dalam gelap yang masih menyelimuti, sungguh sunyi dan khusyuk pemanasan kali ini. Serasa seperti DIKLATSAR di Mendut tempo hari, namun tinggal kami bersembilan dari yang sebelumnya masih puluhan calon anggota. Bangun, kantuk, dingin, basah, renang. Serangkaian hal yang kami rasakan setiap paginya. Sangat berbeda, tidak terdengar lagi manja-manja dari sembilan calon anggota ini. Sudah paham, beginilah untuk menjadi anggota Unit Selam UGM.
Wisata bahari Pasir Putih cukup terkenal. Ombak yang bersahabat membuat di sana terdapat kayak, canoe, papan selancar, kapal layar, kapal bermotor dan hal yang menarik perhatian saya, yaitu ban besar bertuliskan “Unyil” yang disewakan.
Suasana gelap perlahan menjadi terang. Setelah setting scuba, kami menuju bibir pantai sebelah kanan dermaga lalu berenang ke lokasi exercise. Di setiap penyelaman, Om Jack, instruktur kami, selalu mengajak kami berkenalan dengan ikan dan terumbu karang, disertai aba-aba untuk memulai exercise di kedalaman. Beberapa dari kami masih berusaha mencari netral bouyancy meskipun sudah mencoba menemukan netral bouyancy permukaan.
Masih terdapat kekurangan di exercise kami kali ini, seperti Fuad dan Isnawan yang tertinggal saat touring karena komunikasi bawah air yang kurang dipahami, saya dan Sanggul yang hilang bersama karena tak dapat melihat leader dengan jelas, Blonde tiba-tiba mengalami positive bouyancy, Nita kesulitan membongkar-pasang pemberat di bawah air, Kristian salah mengikuti leader karena kesalahpahaman saat briefing, serta Lita yang ke permukaan saat mencoba equalizing ulang hingga membuat Aji kehilangan buddy.Menjelang senja, Kami membilas dan membuat checklist peralatan. Sore pun menjelma menjadi malam, evaluasi bersama harian dilakukan agar peserta dapat mengetahui kesalahan dan tidak mengulang lagi. Mulai timbul perasaan gusar setelah beberapa koreksi disampaikan. Sepertinya kemampuan kami kurang memenuhi standar keselamatan menyelam, terasa jauh dari semua yang diharapkan pada kami. Masih ada kesempatan kami untuk membuktikan kemampuan kami yang terbaik.
Teringat betul suasana malam itu, basah, asin, dan bulan mengiringi malam kami. Terbayang lamunanku sejak jauh-jauh hari, dimana dapat memakai korsa biru tua berbahan halus bertuliskan Gadiso berwarna emas pada punggung bagian atas, terlebih logo Unit Selam UGM di sebelah kiri lengan atas.
Logat dan bahasa Madura terdengar jelas di antara percakapan guide dan nahkoda lokal pada hari terakhir kami di Situbondo. Perahu melaju cukup cepat di atas permukaan laut, menuju spot untuk menyelam. Fun dive hari terakhir inilah yang kami tunggu, pengalaman untuk menyelam di kedalaman. Leader sempat menunjukkan sesuatu saat di bawah. Kulihat makhluk kecil dengan corak membentuk smiley yang ternyata adalah kelinci laut yang jarang ditemui. Bahkan ada juga yang melihat penyu berenang di bawah sana.
Seperti jetlag, bukan karena ketinggian melainkan ombak dan kedalaman, yang membuat tubuh ini masih merasa terombang-ambing. Bagi saya, Situbondo bukan hanya pengalaman pertama kali mengenai ketinggian dan kedalaman, namun pengalaman yang mendekatkan. Tidak memandang dingin atau panas, keduanya saling merekatkan. Baru kali ini saya merasa terombang-ambing itu menyenangkan!
Penulis : Bramanta (Ribbon Eel)
Editor : Tim Humas
0 Comments