Semarang, 1 Oktober 2016 lalu, beberapa anggota Unyil menghadiri seminar nasional yang digelar oleh Marine Diving Club (MDC) bertemakan “Conservation of Sharks and Manta Ray in Central Java : Prevent Extinction, Do Conservation”. Tema ini mengangkat kasus penangkapan hiu dan pari manta secara berlebihan yang telah mengganggu keseimbangan ekosistem laut. Hiu merupakan top predator pemakan populasi ikan herbivora dan omnivora. Akibat berkurangnya populasi hiu, ikan-ikan ini membuat vegetasi di laut berkurang dan berdampak pada hilangnya makanan dan tempat perlindungan bagi juvenil ikan. Belum lagi, hewan bertulang rawan ini memiliki pertumbuhan yang lamban sehingga jumlah telur yang terdapat pada ovari ikan betina yang telah matang gonad dan siap untuk dikeluarkan (fekunditas) pun lebih rendah dibandingkan ikan lain. Berdasarkan data, ditemukan sebagian besar hiu ditangkap melalui By-Catch Tuna (tidak sesuai target) atau memang sengaja untuk dimanfaatkan siripnya, lalu dibuang ke laut begitu saja.
Seminar ini menghadirkan empat orang pembicara, diantaranya Dharmadi sebagai Peneliti Balitbang Kelautan dan Perikanan, Syamsul Bahri Lubis dari KKHL-KKP, Dwi Ariyoga (Koordinator bycatch dan Sharks – WWF Indonesia) dan Nadine Chandrawinata (Aktifis Lingkungan – Seasoldier). Dalam seminar, dijelaskan juga bahwa pari manta memiliki peran sebagai indikator kualitas perairan baik karena banyak ikan yang menjadi mangsanya. Menurut KKP, kasus penjualan ikan pari manta saat ini bisa dikatakan sangat merugikan, karena insang yang hanya dijual senilai 1-4 juta rupiah per ekor. Lain halnya jika dijadikan atraksi ekowisata dan diberi zonasi, akan mampu menghasilkan 300 juta rupiah per tahun per ekor. Pada akhirnya, kondisi ini membuat kedua spesies ini diatur pada regulasi Appendix II CITES dan melalui PP 7/1999 serta PP 60/2007 Keputusan KKP bahwasanya jumlah populasi beberapa spesies hiu dan manta yang berstatus langka ini sudah pada tingkat yang tidak layak ditangkap lagi, dibutuhkan waktu pemulihan untuk menyelamatkan spesies-spesies tersebut dari ancaman kepunahan.
Kondisi ini sangat memprihatinkan bagi Indonesia. Menurut Ariyoga, masih diperlukan banyak riset mengenai distribusi jenis, kemelimpahan jenis, data biologi (ukuran dan biomassa) dan identifikasi tingkah laku, di mana mahasiswa pun bisa turut mengambil peran. Nadine juga mengajak seluruh peserta seminar untuk turut menyuarakan aksi ramah lingkungan sebagai tindakan alternatif dalam menangani hal ini. Karena penggunaan media sosial untuk promosi pariwisata yang justru berdampak buruk pada keutuhan kondisi laut, biasanya disebabkan oleh ketidaksiapan pemerintah daerah dan minimnya pemahaman wisatawan mengenai cara berinteraksi dengan hewan laut yang benar. Hingga kini, organisasi dan lembaga lingkungan tersebut tengah membenahi pengelolaan pariwisata di berbagai lokasi di Indonesia, khususnya kawasan perairan laut yang berpotensi.
So, Unyilers.. sebagai pecinta laut tentunya kita tahu bahwa masih banyak tugas yang belum kita penuhi dalam upaya pelestarian biota laut yang terancam punah. Mari mulai bertanya kepada diri kita: Di manakah kita saat mereka memohon pertolongan? Apakah nasib mereka akan berubah tanpa kita berusaha?
Penulis : Elisabeth Astari (DXXVII)
Editor : Admin
1 Comment
iman fatah · January 14, 2017 at 12:55 pm
ayo kita jaga bersama biota laut yang kehidupannya mulai terancam punah.