Sore itu, tepatnya hari Jumat tanggal 22 Februari 2013 merupakan hari pertama kami mencoba saling mengakrabkan diri. Mengakrabkan diri dengan sesama diklat 23, dengan para senior, dan bahkan dengan si Laut yang suatu saat akan kami selami. Pukul lima sore kami mulai beranjak dari Gelanggang menuju Pantai Sadranan di Wonosari, Gunung Kidul. Perjalanan kami tempuh sekitar dua jam menggunakan sepeda motor. Agar jadwal Sholat Maghrib tidak terlewatkan, kami berhenti di pombensin Wonosari untuk beristirahat dan sholat bagi yang menunaikan. Rombongan kala itu sangat ramai, motor berderet-deret seperti sedang konvoi. Nyala lampu deretan motor di tengah gelapnya jalanan Gunung Kidul ini memberikan pemandangan yang mengasikkan selama perjalanan. Dan akhirnya sekitar pukul tujuh malam kami sampai juga di Pantai Sadranan.
Begitu sampai di pantai, kami segera bergegas mencari spot untuk mendirikan tenda dan menyalakan api unggun. Namun sayangnya kali ini kami kurang cepat, karena spot yang bagus sudah lebih dulu digunakan rombongan lain. Alhasil selama setengah jam kami hanya sibuk mencari tempat untuk mendirikan tenda. Ada saja alasan untuk selalu berpindah-pindah tempat, mulai dari pasir yang penuh dengan semut, semakbelukar, dan bahkan setelah merasa nyaman di suatu spot paling timur pun kami harus memboyong tenda-tenda yang telah berdiri itu kembali ketempat di dekat rombongan lain tadi karena jaraknya terlalu jauh.
Setelah usaha pendirian tenda selesai dikerjakan, api unggun pun mulai dinyalakan sebagai penghangat suasana dan sumber penerangan. Dengan mengitari si api unggun, kami mulai memperkenalkan diri satu persatu. Supaya makin akrab, perkenalan pun dilakukan dengan bergiliran antara diklat 23 dengan senior, satu per satu. Siapa yang ditunjuk harus memperkenalkan tentang dirinya termasuk menjawab pertanyaan random yang kemungkinan dilontarkan peserta makrab lainnya.
Setelah semua memperkenalkan diri, acara dilanjutkan dengan permainan ‘hafal nama dan julukan’. Siapa yang dilempari bungkus rokok berisi pasir sebagai gacuk-nya, dialah yang harus menyebutkan kembali nama dan julukan teman-teman sebelumnya dan begitu seterusnya. Permainan ini berlaku untuk semua orang dari semua angkatan yang hadir malam itu. Saking asiknya bermain, kami sampai lupa kalau punya jagung dan cemilan untuk teman begadang malam itu. Sehingga jagung-jagung yang kami bawa baru sempat dibakar saat sudah tengah malam, semua konsumsi pun baru keluar selarut itu. Tapi keterlambatan itu justru membuat semangat muncul kembali ditengah kantuk yang mulai menyerang, semacam mendapat asupan gizi tambahan.
Malam pun semakin larut dan mendung pun makin tebal, permainan ketiga bahkan belum sempat di-eksekusi. Cuaca memang sepertinya kurang mendukung, hujan turun secara tiba-tiba, tapi hujannya galau. Tiap kami mulai permainan, hujan turun, saat akan bubar, hujan reda, begitu seterusnya, sampai akhirnya kami menyerah dan benar-benar bubar. Sebagian memilih tidur di dalam tenda berhimpit-himpitan dengan ransel, sebagian lainnya masih bertahan di depan api unggun meski gerimis tetap mengguyur, dan sebagiannya lagi memilih tiduran di pinggi pantai beralaskan pasir beratapkan bintang-bintang dan bernyanyi bersama. Namun hujan makin deras, akhirnya semua memilih berteduh dan mau tidak mau harus tidur berdesakan di bawah tenda bersama barang.
Saking lelahnya, tidur pun terasa sangat singkat dan tiba-tiba saja sudah pagi. Belum puas rasanya. Tapi ketidakpuasan kami terobati lantaran pagi itu kami diajak untuk berkenalan dengan si Laut. Jujur awalnya saya ragu untuk menceburkan diri dan berenang bebas ke tengah terjengan ombak pantai selatan, mungkin teman-teman yang lain juga sama. Apalagi saat mata kami dipaksa untuk berkenalan dengan perihnya garam laut, rasa takut jelas ada.Tapi justru dari situ kami tahu jika air laut jauh lebih bersahabat di mata dibandingkan air kaporit kolam renang.
Tak hanya berenang bebas, kami juga diajak untuk fin swimming. Hanya saja, karena arusnya semakin kencang, kami harus bolak-balik entries-tiba-tiba sampai ujung timur – jalan ke ujung barat – entries lagi – sampai ujung timur lagi – jalan lagi ke ujung barat, jadi ribet dan kurang puas menikmati pemandangan bawah lautnya. But over all, perkenalan pagi itu dengan laut cukup memberi pengalaman pertama yang mengesankan, meskipun terdapat beberapa luka-luka dan lecet di kaki gara-gara tergores karang. Satu hal lagi yang kami pelajari, dimanapun kegiatan olah raga dilakukan, pemanasan adalah hal wajib. Begitu juga saat di pantai, meski pemanasan dilakukan sambil miring-miring di pasir, tetap saja peregangan otot harus jadi ritual yang tak boleh dilewatkan.
Setelah acara nge-laut selesai, alat-alat seperti masker, snorkel, dan fins tak lupa dibilas dengan air tawar, meskipun saat itu kami masih sempat diguyur hujan. Dilanjut dengan acara makan siang dengan lauk ikan goreng yang lezat. Setelah kenyang, barulah kami bergegas pulang kembali ke Gelanggang, UGM. Perjalanan pulang justru terasa lama dan membosankan, mata sudah mulai lelah, dan kantuk benar-benar telah menyerang. Sehingga kami memilih untuk beristirahat kembali di pombensin Wonosari untuk sekedar mencari makanan atau minuman sebagai obat kantuk. Setelah dua jam lebih perjalanan, akhirnya sore hari kitas ampai di Gelanggang. Begitulah kisah perjalanan makrab diklat23 yang mampu mengakrabkan kami dengan semuanya baik sesama diklat23, senior-senior, dan juga dengan laut yang sejak saat itu tak lagi semenyeramkan dulu. [KR]
0 Comments