Saya tidak merasa asing dengan suasana hiruk pikuk pelabuhan setibanya di Padang Bai meskipun satu bulan sebelumnya saya telah terbiasa dengan suasana damai pedesaan pesisir di Bali utara. Beban bawaan dan perjalanan yang cukup menguras pikiran dan tenaga karena harus ngeteng naik kendaraan umum dari Pemuteran yang berada di Bali utara sebelah barat sejak insiden mobil dicegat di Gilimanuk, menuju ke Padang Bai di Bali timur agak ke selatan dengan menyambung tiga macam kendaraan umum. Ditambah macet akibat kedatangan kami yang bertepatan dengan diadakannya lomba wajib tujuhbelasan, lomba gerak jalan yang sepertinya diikuti oleh semua elemen masyarakat di Bali dari murid TK hingga penyanyi dangdut dan semua turun memakan separuh jalan menuju Padang Bai.

Dari jam sebelas siang kami berangkat dan tiba di Padang Bai sekitar jam tujuh malam, akhirnya saya berhasil merebahkan badan saya di kasur penginapan yang berhasil kami temukan di sudut remang- remang pelabuhan. Petualangan kami di Padang Bai dimulai esok hari.

Banyak orang tahu bagaimana cara menuju ke Pulau Lombok via jalur darat, ya pelabuhan di Padang Bai menjadi salah satu alternatif penyebrangan menuju Lombok dan sekitarnya bagi para pelancong darat. Tapi, bagi kaum penikmat wisata khusus seperti kami, Padang Bai menyimpan harta karun bawah laut yang indah untuk diselami.

Sejak Belanda menamai desa kecil yang semula bernama Padang menjadi Padang Baai yang berarti Teluk Padang, sejak saat itu desa ini berkembang menjadi desa pelabuhan. Hingga akhirnya Belanda harus hengkang dari bumi Indonesia, Padang Bai tetap menjadi desa penyebrangan menuju Lombok, kepulauan Gili maupun Nusa di Bali.

Seperti halnya daerah pesisir, masyarakatnyapun semula bekerja sebagai nelayan. Menggunakan pedoman hidup orang Hindu Bali yaitu tri hita karana mereka merawat alam dan memetik hasilnya berupa ikan. Hingga pada pertengahan 90an, seseorang menemukan bahwa laut Padang Bai tak hanya menyediakan ikan saja, lautnya juga menyediakan kepuasan bagi siapa saja yang mau menyelam.

Ikan kelamaan habis dan wisata selam di Padang Bai kian tahun kian berkembang pesat. Dive centre, homestay, restoran turut menyemarakan perkembangan ini. Pergeseran mulai hadir ditengah tengah keramaian. Wisatawan tidak hanya sekadar menyebrang atau menginap di Padang Bai untuk menyebrang tetapi juga ingin menjajal peson bawah laut Padang Bai.

Kedatangan kami di Padang Bai disambut dengan ketidakjelasan sebab perubahan rencana yang mendadak dan masalah dengan angkutan kami. Hal yang pertama kali menyambut kami disana adalah keberadaan hotel remang- remang yang terselip diantara antrian panjang kendaraan yang menunggu menyebrang. Hingga pagi tiba, akhirnya terlihatlah bagaimana suasana Padang Bai yang sesungguhnya.

Desa kecil ini memiliki empat pura utama di empat sudut mata anginnya. Kebudayaan Hindu yang kental masih kentara kendati pendatang dari luar Bali turut meramaikan dengan mendirikan rumah makan maupun pemukiman sendiri. Masih kami jumpai wanita pembuat banten, penjaja makanan yang menyunggi jualannya diatas kepala, sampah janur bekas upacara di pura perempatan desa, serta jompo yang menjaga pura agung di sudut desa jauh dari keramaian wisata berkolor maupun berbikini.

Inilah Bali, ditengah derasnya laju wisata yang digembar- gemborkan, ia tetap sederhana dan menjunjung tinggi adat istiadat. Pura kecil di hotel penginapan kami yang tiap pagi dan sore hari selalu menebarkan bau wangi dupa setelah pemiliknya beribadah, pun pura kecil di dekat pelabuhan. Suasana pemukiman padat penduduk yang masih kentara “rasa” Bali meskipun homestay modern mulai menggusur. Serta pecalang yang menjaga ketertiban dan kemanan ketika keramaian upacara beradu dengan keramaian travel yang naik turun membawa penumpang. Dan yang tak ketinggalan, sajen kecil di perempatan jalan yang selalu kami jumpai ketika kami menyisiri jalan- jalan kecil di seputar Padang Bai.

Satu hal yang mulai tergerus dari derasanya laju wisata selam disini adalah nelayan. Jika anda mencari di mesin pencarian pintar di internet, Padang Bai dulunya adalah desa nelayan. Mereka menaiki sampan kecil dan mencari ikan di sepanjang pesisir. Saat saya mencari keberadaan nelayan di sekitar sini, yang saya temui adalah nelayan yang telah beralih menjadi nelayang tangki.

Bapak Wayan, lelaki yang mulai menampakan gurat- gurat umur dan kulit cokelat legam tengah menunggu di pinggir pantai di tengah siang itu. Ketika saya tanyai, beliau ternyata menunggu orderan tabung dan penumpang.

“Memangnya bapak ini kerjanya apa?”

“Ya, saya sebenarnya nelayan. Tapi sudah sejak lama, ikan disini makin sedikit dan sulit untuk ditangkap. Lagipula, wisata diving disini makin ramai dan menjanjikan. Banyak yang minta untuk dibawakan tangki- tangkinya atau minta diantarkan untuk snorkelingan“

Sudah sejak beberapa tahun kebelakang ini memang sudah banyak nelayan ikan di Padang Bai yang gantung jaring dan beralih menjadi nelayan membawa penumpang wisatawan selam. Ketimbang menjual kapal mereka dan mencari pekerjaan lain, mereka lebih mensyukuri keramaian dan pertumbuhan wisata selam serta dive operator di Padang Bai.

“Nyari penumpang juga lumayan susah, karena harus bersaing dengan nelayan yang lain. Tapi hasilnya lumayan juga, apalagi kalau musim ramai begini. Kalau balik lagi nyari ikan, kalah persainganya dengan desa sebelah, karena ongkosnya jadi lebih mahal, ikannya harus didaratkan disana. Cuma hari ini, saya belum dapat penumpang”

Ketika saya kembali ke penginapan, saya menemui bapak wayan yang lain. Terkadang perubahan syarat dengan konflik awal tetapi nelayan disini telah menyadari bahwa perubahan yang hadir membawa dampak yang lain. Agar dapur tetap mengebul dan anak dapat sekolah, menjadi nelayan tangkipun dijalani oleh bapak Wayan dan kawan- kawannya.

Keindahan Padang Bai tidak hanya menarik banyak wisatawan tetapi juga menghidupi masyarakat disini. Perputan roda kehidupan terus melaju di desa pelabuhan kecil di ujung pulau Bali. Poros- poros kehidupan masyarakat Hindu Bali terus beririsan dengan kehidupan maju yang dibawa para pelancoong yang melintas antar pulau dan tiba disini. Tetapi itulah Bali, ia akan tetap menjadi Bali walaupun banyak perubahan disana sini. Ia tetap memegang teguh pedoman tri hita karana bahwa alam, manusia, dan dewa bersatu pada dan akan mereka tuai hasilnya jika mereka menjaganya. Oleh karena itulah, saya tak henti- hentinya merasa senang menikmati indahnya bawah laut Bali dan sensasi lain keindahan Padang Bai.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Nikmatnya bawah laut Padang Bai

Oleh :

Ida Asyari Utomo


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.